Senin, 26 November 2012

Makalah Pengantar Ekonomi Makro PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA. PERSPEKTIF JANGKA PANJANG 2025


Makalah Pengantar Ekonomi Makro

PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI
INDONESIA.
PERSPEKTIF JANGKA PANJANG 2025
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Bayu Nurhada (1115010208)


FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH
BANDA ACEH
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberi kesempatan kepada kami. Sehingga makalah yang berjudul PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA : PERSPEKTIF JANGKA PANJANG 2025 ini selesai. Shalawat dan salam kita sanjungkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW.yang telah membawa kita dari alam jahilyah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Pada kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan dimana kami pun sadar bahwasannya kami hanya lah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,sedang kan kesempernaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunan nya masih jauh dari kata sempurna. oleh  karna itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya kami hanya bisa berharap,bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi kami sendiri,pembaca dan  bagi seluruh mahasiswa/i. amin…


Banda Aceh, 8 Mei 2012                   
Penulis



PENDAHULUAN

Setelah tumbuh pesat sampai dengan tahun 1990-an, industri kelapa sawit di
Indonesia saat ini menghadapi berbagai kendala sehingga investor mulai ragu-ragu
menanamkan modalnya pada bisnis kelapa sawit. Tulisan ini mencoba menganalisis
prospek serta peluang investasi bisnis kelapa sawit di Indonesia dengan horison waktu
2005-2025.  Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi CPO dunia sampai dengan
tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara  41.45 – 44.45 juta ton. Dengan
produksi pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton, peluang peningkatan produksi sampai
dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton. Indonesia diperkirakan 
memperoleh peluang terbesar dengan memanfaatkan  sekitar 40% atau sekitar 6.31 –
7.51 juta atau setara dengan peluang perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha.  Secara
keseluruhan, kebutuhan investasi kebun dan pabrik CPO sampai dengan tahun 2020
berikisar antara Rp 57.12 – Rp 67.97 triliun. Dalam memanfaatkan peluang tersebut,
ada 22 hambatan dalam melakukan investasi, terutama keterbatasan sumber
pendanaan, ekses otonomi dareah, konflik lahan, dan tekanan isu lingkungan. 
Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa
sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua
dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an,
industri kelapa sawit berkembang sangat  pesat.  Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per  tahun. Sejalan dengan perluasan areal,
produksi juga meningkat dengan laju  9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor
juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Laju yang demikian pesat menandai era di
mana kelapa sawit merupakan salah primadona pada sub-sektor perkebunan.




Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju pertumbuhan industri CPO mulai melambat.  Di samping karena
kesulitan sumber pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga
menghambat perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit.  Bahkan ada pandangan
yang menyebutkan bahwa pasar kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh.  Akibat
semua hal itu,  banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada
bisnis kelapa sawit.
 Benarkah pandangan tersebut dan bagaimana prospek bisnis kelapa sawit pada
masa mendatang?  Makalah ini akan mencoba melihat prospek pasar untuk jangka
panjang sampai dengan tahun 2025. Informasi tersebut dapat menjadi acuan bagi
investor dan pemerintah dalam melakukan  dan mnerapkan kebijakan investasi pada
bisnis tersebut. 
 Sejalan dengan hal itu, organisasi tulisan ini disusun sebagai berikut.  Setelah
Pendahuluan, sekilas akan diuraikan peta kompetisi minyak nabati di pasar dunia serta
prospek pasar CPO sampai dengan tahun 2025. Selanjutnya, dibahas perkembangan
industri CPO Indonesia, peluang pasar yang masih terbuka, serta kendala dan
kebijakan dalam memanfaatkan peluang tersebut.









DINAMIKA PASAR MINYAK NABATI DAN PROSPEK PASAR CPO.

Dinamika Pasar Minyak Nabati di Pasar Internasional.

 Pasar minyak nabati di pasar internasional merupakan salah satu pasar yang
kompetitif, melibatkan lebih dari sembilan jenis minyak serta hampir diproduksidan
dikonsumsi di semua negara, baik negara maju maupun negara yang sedang
berkembang. Minyak nabati yang banyak diperdagangkan di pasar internasional
antara lain minyak kedele, minyak sawit, rapeseed oil, sunflower oil, minyak kelapa,
minyak jagung, dan minyak kacang tanah.     Dari segi daya saing dan kinerja, minyak sawit dinilai memiliki daya saing dan
kinerja yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10%
pada tahun 1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an.  Beberapa jenis minyak
nabati seperti sunflower dan rapeseed oil terus mengalami penurunan pangsa. Hal ini
menunjukkan bahwa CPO di pasar dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran
minyak nabati lainnya  (Susila 1998; Basiron 2002).
 Pada lima tahun terakhir, daya saing CPO di pasar internasional masih lebih
baik dari daya saing minyak nabati lainnya (Basiron 2002).  Hal ini tercermin dari
pertumbuhan pasar CPO yang secara umum paling tinggi. Konsumsi CPO dunia pada
lima tahun terakhir tumbuh dengan laju 7.70% per tahun, jauh diatas rata-rata
konsumsi minyak dunia yang hanya 3.44% per tahun (Tabel  1).  Pada periode
tersebut, hanya minyak kedele yang masih tumbuh dengan laju 4.49% per tahun. 
Konsumsi rapeseed oil dan sunflower oil di pasar dunia justru mengalami penurunan. 
Sebagai akibatnya, pangsa konsumsi CPO di dunia meningkat 4.12% per tahun pada
periode tersebut menjadi 27.77%, dengan tingkat konsumsi mencapai  27.77 juta ton
pada tahun 2004.  


Hal yang identik juga terjadi pada aspek produksi.  Pada periode 1999-2004,
produksi CPO meningkat dengan laju 5.93% per tahun dengan total produksi
mencapai 25.67 juta ton pada tahun 2004 (Tabel 2). Dengan pangsa produksi sekitar
32.79%, minyak kedele juga tumbuh dengan laju 4.20% per tahun pada periode
tersebut.   Minyak lain khususnya  rapeseed oil dan  sunflower oil dengan pangsa
produksi nomor tiga dan empat, mengalami penurunan, masing-masing dengan laju –
1.00% dan –1.88% per tahun.  Dengan kondisi tersebut, pangsa produksi CPO di
dunia kembali meningkat dengan laju 3.06% per tahun.

 Perdagangan (ekspor/impor) CPO juga mengalami pertumbuhan yang paling
pesat bila dibandingkan dengan perdagangan minyak nabati lainnya. Dengan pangsa
pasar terbesar yaitu 47.59% pada tahun 2004, ekspor CPO meningkat dengan laju
paling pesat pada lima tahun terakhir yaitu 7.37% per tahun.  Minyak kedele sebagai
pesaing utama hanya tumbuh dengan laju 3.35% per tahun.  Pertumbuhan ekspor
rapeseed oil dan sunflower oil mengalami penurunan yang cukup signifikan, masingmasing dengan laju –4.00% dan –5.46% per tahun.  Situasi ini kembali memperbesar
pangsa perdagangan minyak sawit dengan laju 3.18% per tahun.  Minyak kedele
sebagai pesaing utama mengalami penurunan pangsa di perdagangan dengan
penurunan pangsa sekitar –0,68% per tahun.
Prospek CPO di Pasar Internasional Cukup Terbuka
Dengan kinerja dan daya saing yang cukup baik, prospek CPO di pasar
internasional, baik dilihat dari sisi peluang peningkatan konsumsi maupun ekspor
diperkirakan masih cukup baik.  Hasil analisis yang dilakukan FAO (2001), Mielke
(2001), dan Susila (2002) menunjukkan peluang peningkatan konsumsi CPO masih terbuka.  Dari studi tersebut, peluang peningkatan konsumsi CPO untuk jangka
panjang sampai dengan 2005 diperkirakan akan mengalami 3 fase pertumbuhan.  Pada
fase pertumbuhan pertama atau fase pertumbuhan cepat (2005-2010), konsumsi CPO
diperkirakan masih  cukup tinggi, walaupun lebih rendah dari pertumbuhan pada
dekade terakhir.


Fase kedua (2010-1017)  dikenal sebagai fase pertumbuhan yang
lambat, namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan produk kompetitiornya yaitu
pertumbuhan konsumsi minyak kedele.  Fase ketiga (2017-2025) dikenal sebagai
pertumbuhan yang alami (natural) yaitu pada saat pasar mulai jenuh dan pertumbuhan
konsumsi hanya sekitar 1.5% per tahun.
Dengan pembagian fase tersebut, secara umum ada dua skenario proyeksi
konsumsi CPO dunia.  Skenario pertama adalah skenario aman/pesimistis.  Skenario
ini dapat dinilai sebagai masukan yang aman bagi investor yang terjun ke bisnis
kelapa sawit atau tingkat konsumsi/peluang pasar yang minimal akan dapat
dimanfaatkan.  Skenario ini memperkirakan bahwa konsumsi CPO akan tumbuh
dengan laju antara 1.5% - 3.5% sampai  dengan tahun 2005.  Pada fase pertama,
skenario ni memperkirakan pertumbuhan konsumsi sekitar skenario 4% per tahun
sampai dengan tahun 2010. Pada periode 2010 – 2017, konsumsi diperkirakan akan
tumbuh antara 1.5% - 3.5% per tahun.  Ada fase ketiga konsumsi CPO akan
mengalami pertumbuhan natural sekitar 1.5%. 
Skenario kedua atau skenario optimistik memperkirakan bahwa konsumsi
CPO dunia akan tumbuh dengan laju antara 1.5% - 5.0% pada periode 2005-2025.
Proyeksi ini dilandasi pemikiran adanya perkembangan yang cukup pesat pada
industri hilir kelapa sawit seperti biodiesel dan oleokimia. Pada fsse pertama,
konsumsi diperkirakan akan tumbuh antara 3.5%-5.0% per tahun. Pada fase kedua
(2010-2017), konsumsi diperkirakan akan tumbuh antara 1.9% - 3.3% per tahun. 
Selanjutnya, pada fase pertumbuhan natural, konsumsi diperkirakan akan tumbuh
dengan laju 1.5% per tahun.









Malaysia dan Indonesia tetap merupakan negara pengekspor utama dengan
peluang peningkatan ekspor masing-masing sekitar 3.2% dan 6.5% per tahun. Dari
sudut alokasi pangsa pasar, Indonesia diperkirakan masih menguasai pasar untuk
negara-negara di beberapa Eropa Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman.
Malaysia lebih banyak menguasai pasar China (1.8 juta ton), India (1.7 juta ton), EU
(1.5 juta ton), Pakistan (1.1 juta ton), Mesir (0.5 juta ton), dan Jepang (0.4 juta ton)
 Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup
cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya.   Faktor pertama yang
mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi
dari minyak tersebut.  Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO
merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap
minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004;
Susila 1998).  Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk
pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200,
332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak.
 Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di
negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk
minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001).   Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi
dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO
yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi
minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah.  Efek pendapatan cukup
signifikan karena pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara
yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih
rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).





Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah
terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke
bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya
adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993).  Kecenderungan tersebut
sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan
Jepang.
Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing CPO.  Hal
ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan sunflower oil selama ini
mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya
Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa.  Negara-negara tersebut
menganggap pasar internasional sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi
sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995).  Negara berkembang yang
umumnya memproduksi CPO diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan
perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993).  Dalam hal
peningkatan produksi, 82% dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara
berkembang, sedangkan negara maju hanya sekitar 12% (Pasquali, 1995).
Seperti kebanyakan harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit
untuk diprediksi dengan akurasi yang tinggi.  Harga cenderung fluktuatif dengan
dinamika yang perubahan yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka
proyeksi harga yang dilakukan lebih pada menduga kisaran. Dengan argumen
tersebut, harga CPO sampai dengan 2005-2025 sebagian besar diperkirakan akan
berfluktuasi sekitar US$ 350-450/ton (FAO, 2003; Susila 2002). Jumlah stok yang
terus menurun pada lima tahun terakhir dari sekitar 10% dari konsumsi menjadi 7%, memberi indikasi bahwa harga CPO akan tidak menurun secara drastis
dalam waktu jangka pendek.





PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN CPO INDONESIA

Prospek dan Peluang Investasi di Indonesia.
               
Seperti disebutkan,  minyak sawit  merupakan salah satu komoditas yang
perkembangannya paling pesat pada tiga dekade terakhir. Bahkan pada saat krisis dan
pemulihan ekonomi (1998-2003), kelapa sawit masih menunjukkan perkembangan
yang pesat. Pada periode tersebut, pertumbuhan areal mencapai 12.04% per
tahun dengan luas aral tahun 2003 mencapai 4.923 juta ha.  Produksi juga tumbuh
pesat pada periode tersebut dengan laju 13.6% per tahun dengan tingkat produksi
mencapai 10.683 jua ton pada tahun 2003.  Volume ekspor juga meningkat dengan
laju 16.37% per tahaun, sedangkan nilai ekspor minyak sawit meninkat dengan laju
7.67% per tahun.  Konsumsi domstik juga tidak ketinggalan dengan laju peningkatan
sekitar 7.33% per tahun pada periode tersebut.  Dengan kinerja yang demikian bagus,
bagaimana prospek/peluang Indonesia dalam pasar CPO dunia?

Dalam melihat peluang pasar CPO Indonesia, maka terlebih dahulu perlu
diestimasi peluang pasar (peningkatan konsumsi) di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi sebelumnya, tingkat konsumsi sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan
berkisar antara  41.45 – 44.45 juta ton.  Di sisi lain, produksi CPO dunia pada tahun
2004 adalah 25.67 juta ton.  Dengan demikian, peluang peningkatan produksi sampai
dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton.
Dengan peluang pasar yang cukup terbuka baik dari sisi ekspor ataupun
konsumsi dunia secara keseluruhan, negara produsen CPO akan berusaha
memanfaatkan peluang pasar tersebut. Malaysia dan Indonesia diperkirakan sebagai
negara yang paling banyak dapat memanfaatkan peluang tersebut.




Sebagai perkiraan,
Malaysia sebagai produsen utama diperkirakan akan memanfaatka peluang tersebut
dengan peningkatan produksi dengan laju 2.8%-1.5% per tahun. Indonesia
diperkirakan masih akan mempunyai peluang untuk memanfaatkan peluang tersebut
dengan peningkatan produksi dengan laju antara 3.0%-7.6% per tahun (Susila, 2002).  
 Ada beberapa argumen yang mendukung bahwa dengan dukungan kebijakan
yang konsisten dan efektif, Indonesia diperkirakan akan memperoleh peluang terbesar
untuk memanfaatkan peluang pasar tersebut.  Faktor utama adalah ketersediaan lahan
yang masih cukup luas.  Taher et al. (2000) telah mengidentifikasi ketersediaan lahan
yang cocok untuk kelapa sawit mencapai sekitar 2.9 juta ha.  Di sisi lain,
Malaysia menghadapi kesulitan karena keterbatasan lahan yang sangat terbatas untuk
perluasan (Basiron 2002).  Negara lain seperti Thailand juga diperkirakan akan tidak
dapat mengejar dengan cepat karena keterbatasan lahan, bibit, dan kebijakannya yang
tidak meletakkan kelapa sawit sebagai komoditi unggulan.  Prodksi CPO Nigeria
diperkirakan hanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 
Dengan argumen tesrebut, Malaysia diperkirakan akan dapat memanfaatkan
peluang sebesar 20% (3.16 – 3.76 juta ton) dan sekitar 40% (6.31 – 7.51 juta ton)
akan dimanfaatkan oleh negara lain. Indonesia diperkirakan  memperoleh peluang
terbesar dengan memanfaatkan  sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta. 
Hal ini berarti bahwa dengan asumsi produktivitas adalah sekitar 3.5 ton CPO/ha,
Indonesia berpeluang untuk melakukan perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha.  Jika
perluasan dilakukan antara tahun 2005-2025, maka setiap tahun Indonesia harus
melakukan perluasan sekitar 120 –140 ribu ha
Peluang Pasar CPO Dunia      
   Produksi CPO Dunia, 2004 juta ton 25.67 25.67
   Produksi CPO Dunia, 2025 juta ton 41.45 44.45
   Peluang Peningkatan Produksi, 2004-2025 juta ton 15.78 18.78



Distribusi Peluang Pasar      
   Malaysia (20%)  juta ton 3.16 3.76
   Negara Lain (40%) juta ton 6.31 7.51
   Indonesia (40%) juta ton 6.31 7.51
Peluang Perluasan Areal dan Investasi di Indonesia      
   Perluasan areal juta ha 1.80 2.15
   Rata-rata perluasan/per tahun juta ha 0.12 0.14
   Kebutuhan investasi kebun Rp triliun 36.08 42.93
   Kebutuhan Investasi Pabrik CPO Rp triliun 21.05 25.04
   Total Investasi Rp triliun 57.12 67.97
   Rata-Rata Investasi/tahun Rp triliun 3.81 4.53
Perluasan tersebut memerlukan dukungan dana investasi, baik untuk investasi
kebun dan pabrik.  Untuk investasi kebun,  kebutuhan total investasi diperkirakan
berkisar antara Rp 36.08 – 42.93 triliun. Perluasan areal kelapa sawit tersebut
memerlukan tambahan pabrik CPO antara 300–350 pabrik pengolahan CPO  dengan 
kebutuhan total dana investasi mencapai antara Rp. 21 – 25 triliun.  Secara keluruhan, kebutuhan investasi sampai dengan tahun 2025 berikisar antara Rp. 57.12 – Rp. 67.97
triliun, dengan rata-rata berkisar antara Rp. 3.81 – Rp. 4.53 triliun per tahun.   
Kendala dan Kebijakan 
Dengan peluang investasi yang masih terbuka, Indonesia sebenarnya
mempunyai potensi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Seberapa besar peluang
tersebut dapat dimanfatkan akan sangat bergantung pada iklim investasi/bisnis di
Indonesia.  Menurut  sirvei yang dilakukan oleh ADB (2003), secara umum ada  22
hambatan bisnis di Indonesia.  Dua hambatan utama adalah instabilitas
kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi.  Faktor berikutnya
yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah korupsi, baik pada tingkat local
maupun nasional.



Selanjutnya, masalah perpajakan dan biaya modal juga menjadi
factor penghambat investasi di Indonesia.  Secara lebih spesifik pada bidang investasi kelapa sawit, beberapa hambatan
utama untuk melakukan investasi adalah sebagai berikut:
Keterbatasan Sumber Pendanaan  
Sejak tidak adanya BLBI sebagai kredit murah, berbagai kegiatan investasi
perluasan kelapa sawit di Indonesia, seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera
Selatan mengalami kemacetan atau perluasannya sangat terbatas.  Dalam mengatasi
hal tersebut, sumber pendanaan perlu digali seperti dengan menggunakan anggaran
pemerintah daerah.
Ekses Otonomi Daerah
Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai tahun 2001 tentunya akan
mempunyai pengaruh terhadap kinerja subsektor perkebunan pada masa mendatang.
Ada dua undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah yaitu UU No. 22/1999
tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan daerah. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya
memberi wewenang yang lebih luas pada pemerintah daerah untuk mengelola
sumberdaya yang dimiliki. Dengan belum jelasnya operasionalisasi dari otonomi
daerah tersebut, khususnya yang berkaitan dengan subsektor perkebunan, maka
pengaruh otonomi daerah terhadap subsektor perkebunan masih memerlukan kajian
lebih mendalam.  Dampak positif yang diharapkan dari otonomi daerah adalah bahwa
inisiatif daerah lebih terpacu sehingga potensi ekonomi daerah, termasuk subsektor
perkebunan, dapat digali secara optimal. Hal ini cenderung mendorong daerah untuk
melakukan spesialisasi guna meningkatkan efisiensi pada semua bidang, termasuk
subsektor perkebunan. 





Kemungkinan dampak negatif dari otonomi daerah terhadap subsektor
perkebunan adalah adanya kompetisi antar daerah dalam mengembangkan subsektor
tersebut.  Jika tidak ada koordinasi antar daerah atau dari pemerintah pusat, persaingan
tersebut dikhawatirkan akan memperlemah posisi rebut tawar Indonesia di pasar
internasional.  Sebagai contoh, jika beberapa daerah berusaha meningkatkan produksi
produk perkebunan sehingga melebihi peluang pasar yang ada, maka kelebihan
penawaran sulit dihindarkan.  Sebagai akibatnya, harga turun yang tentunya merugikan
produsen perkebunan Indonesia.  Sisi negatif lain yang tampaknyan akan berlanjut dihadapi subsektor
perkebunan sebagai akibat otonomi daerah adalah meningkatnya jumlah pungutan,
retribusi, ataupun sumbangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.  Hal ini
tentunya semakin memberatkan pelaku bisnis perkebunan pada masa mendatang
sehingga situasi ini tidak akan kondusif untuk mengembangkan subsektor
perkebunan. 
Hal lain yang masih terkait dengan otonomi daerah adalah belum jelasnya
pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan daerah.  Kondisi ini sering
membingungkan dan mengkhawatirkan pelaku bisnis yang ingin melakukan investasi
pada subsektor perkebunan.  Pembagian wewenang ini perlu segera diterjemahkan
dan disosialisasikan sehingga pelaku bisnis tidak dihinggapi rasa kekhawatiran untuk
melakukan kegiatan bisnis di subsektor perkebunan. 
Untuk mengatasi masalah tersebut, master plan pengembangan minyak sawit
secara nasional merupakan suatu keharusan.  Di samping itu, berbagai kendala
pungutan yang mempunyai dampak negatif secara signifikan terhadap investasi  perlu
ditinjau kembali.






Isu Lingkungan 

Pengembangan tanaman perkebunan, kelapa sawit khususnya, akhir-akhir ini
mendapat sorotan karena dianggap merusak lingkungan.  Memasuki awal abad 21,
masalah lingkungan masih akan tetap mendapat tekanan, khususnya dari kalangan
LSM lingkungan.  Ada beberapa argumen yang digunakan untuk menyatakan
perluasan areal kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Pertama, areal kelapa sawit
dianggap berasal dari lahan hutan yang memberi keuntungan ganda pada pengusaha
dalam bentuk kayu dan produk kelapa sawit.  Hal ini memang tidak sepenuhnya benar
karena banyak juga kebun yang berasal dari lahan yang bukan hutan. 
Pengusahaan kebun secara monokultur juga dijadikan argumen lain untuk mendukung kekhawatiran bahwa kelapa sawit dapat merusak lingkungan.  Kasus serangan belalang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diyakini berkaitan dengan habisnya hutan
di wilayah tersebut akibat kelapa sawit.  Masalah banjir juga sering dikaitkan dengan
perluasan kelapa sawit.  Situasi tersebut akan mempersulit pengembangan kelapa sawit
pada masa mendatang. Untuk itu, pengembanan kelapa sawit harus menerapkan konsep
berkelanjutan dan menerapkan teknologi dengan dampak lingkugan yang minimal.



   Konflik Lahan dan Penjarahan.  

Masalah lain yang masih harus diantisipasi dalam pengembangan kelapa sawit
adalah konflik lahan dan penjarahan, baik itu penjarahan kebun maupun produksi.
Masalah ini cukup  mengkhawatirkan perusahaan perkebunan, karena masalah ini
sudah menyebar lintas wilayah dan komoditas. Nilai kerugian finansial yang
ditimbulkan oleh konflik lahan dan penjarahan ini, walaupun bervariasi bergantung
sumbernya, sebenarnya sudah sangat besar. Sebuah laporan menyebutkan bahwa
kerugian penjarahan di perkebunan sudah mencapai Rp 5 triliun yang diderita oleh
sekitar 120 perusahaan perkebunan (Anonim 2000). Selanjutnya, penyerobotan atau
okupasi lahan perkebunan diperkirakan sudah mencapai lebih dari 100 ribu ha. 
Situasi ini tidak hanya mencemaskan bagi perusahaan yang sudah ada, tetapi juga
membuat perusahaan baru membatalkan atau menunda usaha investasi di bisnis
perkebunan. Untuk itu, model pembangunan industri minyak sawit harus benar-benar
memanfaatkan aspek kesinambungan dan keadilan, khususnya dengan masyarakat
sekitar. Dengan perkataan lain, masyarakat sekitar sejak awal sudah dilibatkan agar
menampung aspirasi mereka tertampung secara fair.



















PENUTUP
 Setalah mengalami masa keemasan sampai dengan pertengahan tahun 1990-
an, bisnis kelapa sawit mengalami penurunan kinerja, khususnya dari aspek investasi. 
Berbagai faktor internal dan eksternal  telah menimbulkan persepsi bahwa peluang
investasi di bisnis tersebut mulai menurun.  Padahal, peluang investasi sebenarnya
masih cukup terbuka dalam waktu yang relatif panjang (2025).
1. Konsumsi CPO sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 
41.45 – 44.45 juta ton. Dengan produksi pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton,
peluang peningkatan produksi sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 –
18.78 juta ton.
2. Indonesia diperkirakan  memperoleh peluang terbesar dengan memanfaatkan 
sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta atau setara dengan peluang perluasan
antara 1.80 – 2.15 juta ha.  Jika  perluasan dilakukan antara tahun 2005-2025,
maka setiap tahun Indonesia harus melakukan perluasan sekitar 120 –140 ribu ha.
3. Perluasan tersebut memerlukan dukungan dana investasi untuk kebun yang
berkisar antara Rp 36.08 – 42.93 triliun dan investasi sebanyak 300-350 pabrik CPO kebutuhan total dana investasi mencapai antara  Rp 21 – 25 triliun.  Secara
keluruhan, kebutuhan investasi sampai  dengan tahun 2025 berikisar antara Rp
57.12 – Rp 67.97 triliun, dengan rata-rata bekisar antara Rp 3.81 – 4.53 triliun per
tahun.
4. Dalam memanfaatkan peluang tersebut, secara umum ada  22 hambatan umum
dalam melakukan investasi di Indonesia.
Beberapa hambatan utama adalah
instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi,
korupsi, baik pada tingkat local maupun nasional, perpajakan dan biaya modal.
Secara lebih spesifik untuk investasi di bidang kelapa sawit, Indonesia mengalami
empat kendala utama yaitu keterbatasan sumber pendanaan, ekses otonomi dareah,
konflik lahan, dan tekanan isu lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah dan investor
sangat dituntut menerapkan bebagai kebijakan/upaya untuk mengatasi kendala
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

ADB. 2005. Business Survey Highlights Investment Climate Challenge in Indonesia,
Barton, J.H. (1993). Implication of GATT of world trade in vegetable oils, Paper
presented at Porim International Oil Congress, Kuala Lumpur, 20-25 September
1993.
Basiron, Y. 2002. Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects, Oil Palm
Industry Economic Journal, 2 (1): 1 - 10
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2004). Statistik Perkebunan, Kelapa
Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
FA0. (2001). Medium term prospects for agricultural commodities, Projection to the
year 2005: Oilseeds, oils, and oilmeals, FAO, Rome.
Herman,  et. al. (2000). ‘Kajian beberapa alternatif pola pengembangan perkebunan,
Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Ong, A.S.H. (1992). Promotion of oil palm products, paper presented at ASEAN
Simeh, M. A. (2004). ‘Comparative advantage of  the European rapeseed industry visa vis other oil and fat producers, Oil Palm Industry Economic Journal, 4(2), 14-21.
Susila, W. R. (1997). 'Dampak Putaran Uruguay terhadap minyak nabati', Forum Agro
Ekonomi, 15 (1&2), 35-43.
Susila, W. R. (1998). ‘Daya saing dan efisiensi penggunaan sumberdaya minyak sawit
mentah (CPO) Indonesia’, Jurnal Agribisnis, 2(2): 16-30).  Susila, W. R. (2004). ‘Impacts of CPO-export tax on several aspects of Indonesian
CPO industty’, Oil Palm Industry Economic Journal, 4(2), 1- 13. 
Taher, S. et. al. (2000). Hand Book of  Indonesian Estate Crops Bisiness, Media
Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
USDA, 2004. Vegetable oil production, consumption and imports for selected
countries, http://www.fas.usda.gov/oilseeds/circular/2005/05-02/table9.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar