Makalah Pengantar Ekonomi Makro
PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI
INDONESIA.
PERSPEKTIF JANGKA PANJANG 2025
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
:
Bayu
Nurhada (1115010208)
FAKULTAS
EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS
SERAMBI MEKKAH
BANDA ACEH
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberi kesempatan kepada kami.
Sehingga makalah yang berjudul PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI
INDONESIA : PERSPEKTIF JANGKA PANJANG 2025 ini selesai. Shalawat dan salam kita
sanjungkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW.yang telah membawa kita dari alam
jahilyah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Pada kesempatan ini,
kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta
semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Demikian pengantar
yang dapat kami sampaikan dimana kami pun sadar bahwasannya kami hanya lah
seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,sedang kan
kesempernaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan
penyusunan nya masih jauh dari kata sempurna. oleh karna itu, kritik dan saran yang konstruktif
akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya kami hanya
bisa berharap,bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah
ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah
bagi kami sendiri,pembaca dan bagi
seluruh mahasiswa/i. amin…
Banda Aceh, 8 Mei 2012
Penulis
PENDAHULUAN
Setelah tumbuh
pesat sampai dengan tahun 1990-an, industri kelapa sawit di
Indonesia saat ini menghadapi
berbagai kendala sehingga investor mulai ragu-ragu
menanamkan modalnya pada bisnis
kelapa sawit. Tulisan ini mencoba menganalisis
prospek serta peluang investasi
bisnis kelapa sawit di Indonesia dengan horison waktu
2005-2025. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi CPO
dunia sampai dengan
tahun 2025 diperkirakan akan
berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton.
Dengan
produksi pada tahun 2004 adalah
25.67 juta ton, peluang peningkatan produksi sampai
dengan tahun 2025 berkisar antara
15.78 – 18.78 juta ton. Indonesia diperkirakan
memperoleh peluang terbesar
dengan memanfaatkan sekitar 40% atau
sekitar 6.31 –
7.51 juta atau setara dengan
peluang perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha.
Secara
keseluruhan, kebutuhan investasi
kebun dan pabrik CPO sampai dengan tahun 2020
berikisar antara Rp 57.12 – Rp
67.97 triliun. Dalam memanfaatkan peluang tersebut,
ada 22 hambatan dalam melakukan
investasi, terutama keterbatasan sumber
pendanaan, ekses otonomi dareah,
konflik lahan, dan tekanan isu lingkungan.
Di bandingkan dengan komoditi
lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa
sawit merupakan salah satu
komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua
dekade terakhir. Pada era tahun
1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an,
industri kelapa sawit berkembang
sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan
laju sekitar 11% per tahun. Sejalan
dengan perluasan areal,
produksi juga meningkat dengan
laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik
dan ekspor
juga meningkat pesat dengan laju
masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan
2004). Laju yang demikian pesat menandai era di
mana kelapa sawit merupakan salah
primadona pada sub-sektor perkebunan.
Pada lima tahun terakhir, ketika
Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju pertumbuhan industri CPO
mulai melambat. Di samping karena
kesulitan sumber
pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga
menghambat perkembangan investasi
di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada
pandangan
yang menyebutkan bahwa pasar
kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh.
Akibat
semua hal itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk
melakukan investasi pada
bisnis kelapa sawit.
Benarkah pandangan tersebut dan bagaimana
prospek bisnis kelapa sawit pada
masa mendatang? Makalah ini akan mencoba melihat prospek
pasar untuk jangka
panjang sampai dengan tahun 2025.
Informasi tersebut dapat menjadi acuan bagi
investor dan pemerintah dalam
melakukan dan mnerapkan kebijakan
investasi pada
bisnis tersebut.
Sejalan dengan hal itu, organisasi tulisan ini
disusun sebagai berikut. Setelah
Pendahuluan, sekilas akan
diuraikan peta kompetisi minyak nabati di pasar dunia serta
prospek pasar CPO sampai dengan
tahun 2025. Selanjutnya, dibahas perkembangan
industri CPO Indonesia, peluang
pasar yang masih terbuka, serta kendala dan
kebijakan dalam memanfaatkan
peluang tersebut.
DINAMIKA
PASAR MINYAK NABATI DAN PROSPEK PASAR CPO.
Dinamika Pasar Minyak Nabati
di Pasar Internasional.
Pasar minyak nabati di pasar internasional
merupakan salah satu pasar yang
kompetitif, melibatkan lebih dari
sembilan jenis minyak serta hampir diproduksidan
dikonsumsi di semua negara, baik
negara maju maupun negara yang sedang
berkembang. Minyak nabati yang
banyak diperdagangkan di pasar internasional
antara lain minyak kedele, minyak
sawit, rapeseed oil, sunflower oil, minyak kelapa,
minyak jagung, dan minyak kacang
tanah. Dari segi daya saing dan
kinerja, minyak sawit dinilai memiliki daya saing dan
kinerja yang paling baik karena
pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10%
pada tahun 1970-an menjadi
sekitar 28% pada tahun 2000-an. Beberapa
jenis minyak
nabati seperti sunflower dan
rapeseed oil terus mengalami penurunan pangsa. Hal ini
menunjukkan bahwa CPO di pasar
dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran
minyak nabati lainnya (Susila 1998; Basiron 2002).
Pada lima tahun terakhir, daya saing CPO di
pasar internasional masih lebih
baik dari daya saing minyak
nabati lainnya (Basiron 2002). Hal ini
tercermin dari
pertumbuhan pasar CPO yang secara
umum paling tinggi. Konsumsi CPO dunia pada
lima tahun terakhir tumbuh dengan
laju 7.70% per tahun, jauh diatas rata-rata
konsumsi minyak dunia yang hanya
3.44% per tahun (Tabel 1). Pada periode
tersebut, hanya minyak kedele
yang masih tumbuh dengan laju 4.49% per tahun.
Konsumsi rapeseed oil dan
sunflower oil di pasar dunia justru mengalami penurunan.
Sebagai akibatnya, pangsa
konsumsi CPO di dunia meningkat 4.12% per tahun pada
periode tersebut menjadi 27.77%,
dengan tingkat konsumsi mencapai 27.77
juta ton
pada tahun 2004.
Hal yang identik juga terjadi
pada aspek produksi. Pada periode
1999-2004,
produksi CPO meningkat dengan
laju 5.93% per tahun dengan total produksi
mencapai 25.67 juta ton pada
tahun 2004 (Tabel 2). Dengan pangsa produksi sekitar
32.79%, minyak kedele juga tumbuh
dengan laju 4.20% per tahun pada periode
tersebut. Minyak lain khususnya rapeseed oil dan sunflower oil dengan pangsa
produksi nomor tiga dan empat,
mengalami penurunan, masing-masing dengan laju –
1.00% dan –1.88% per tahun. Dengan kondisi tersebut, pangsa produksi CPO
di
dunia kembali meningkat dengan
laju 3.06% per tahun.
Perdagangan (ekspor/impor) CPO juga mengalami
pertumbuhan yang paling
pesat bila dibandingkan dengan
perdagangan minyak nabati lainnya. Dengan pangsa
pasar terbesar yaitu 47.59% pada
tahun 2004, ekspor CPO meningkat dengan laju
paling pesat pada lima tahun
terakhir yaitu 7.37% per tahun. Minyak
kedele sebagai
pesaing utama hanya tumbuh dengan
laju 3.35% per tahun. Pertumbuhan ekspor
rapeseed oil dan sunflower oil
mengalami penurunan yang cukup signifikan, masingmasing dengan laju –4.00% dan
–5.46% per tahun. Situasi ini kembali
memperbesar
pangsa perdagangan minyak sawit
dengan laju 3.18% per tahun. Minyak
kedele
sebagai pesaing utama mengalami
penurunan pangsa di perdagangan dengan
penurunan pangsa sekitar –0,68%
per tahun.
Prospek CPO di Pasar
Internasional Cukup Terbuka
Dengan kinerja dan daya saing
yang cukup baik, prospek CPO di pasar
internasional, baik dilihat dari
sisi peluang peningkatan konsumsi maupun ekspor
diperkirakan masih cukup
baik. Hasil analisis yang dilakukan FAO
(2001), Mielke
(2001), dan Susila (2002)
menunjukkan peluang peningkatan konsumsi CPO masih terbuka. Dari studi tersebut, peluang peningkatan
konsumsi CPO untuk jangka
panjang sampai dengan 2005
diperkirakan akan mengalami 3 fase pertumbuhan.
Pada
fase pertumbuhan pertama atau
fase pertumbuhan cepat (2005-2010), konsumsi CPO
diperkirakan masih cukup tinggi, walaupun lebih rendah dari
pertumbuhan pada
dekade terakhir.
Fase kedua (2010-1017) dikenal sebagai fase pertumbuhan yang
lambat, namun masih lebih tinggi
dari pertumbuhan produk kompetitiornya yaitu
pertumbuhan konsumsi minyak
kedele. Fase ketiga (2017-2025) dikenal
sebagai
pertumbuhan yang alami (natural)
yaitu pada saat pasar mulai jenuh dan pertumbuhan
konsumsi hanya sekitar 1.5% per
tahun.
Dengan pembagian fase tersebut,
secara umum ada dua skenario proyeksi
konsumsi CPO dunia. Skenario pertama adalah skenario
aman/pesimistis. Skenario
ini dapat dinilai sebagai masukan
yang aman bagi investor yang terjun ke bisnis
kelapa sawit atau tingkat
konsumsi/peluang pasar yang minimal akan dapat
dimanfaatkan. Skenario ini memperkirakan bahwa konsumsi CPO
akan tumbuh
dengan laju antara 1.5% - 3.5%
sampai dengan tahun 2005. Pada fase pertama,
skenario ni memperkirakan
pertumbuhan konsumsi sekitar skenario 4% per tahun
sampai dengan tahun 2010. Pada
periode 2010 – 2017, konsumsi diperkirakan akan
tumbuh antara 1.5% - 3.5% per
tahun. Ada fase ketiga konsumsi CPO akan
mengalami pertumbuhan natural
sekitar 1.5%.
Skenario kedua atau skenario
optimistik memperkirakan bahwa konsumsi
CPO dunia akan tumbuh dengan laju
antara 1.5% - 5.0% pada periode 2005-2025.
Proyeksi ini dilandasi pemikiran
adanya perkembangan yang cukup pesat pada
industri hilir kelapa sawit
seperti biodiesel dan oleokimia. Pada fsse pertama,
konsumsi diperkirakan akan tumbuh
antara 3.5%-5.0% per tahun. Pada fase kedua
(2010-2017), konsumsi
diperkirakan akan tumbuh antara 1.9% - 3.3% per tahun.
Selanjutnya, pada fase
pertumbuhan natural, konsumsi diperkirakan akan tumbuh
dengan laju 1.5% per tahun.
Malaysia dan Indonesia tetap merupakan
negara pengekspor utama dengan
peluang peningkatan ekspor
masing-masing sekitar 3.2% dan 6.5% per tahun. Dari
sudut alokasi pangsa pasar,
Indonesia diperkirakan masih menguasai pasar untuk
negara-negara di beberapa Eropa
Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman.
Malaysia lebih banyak menguasai
pasar China (1.8 juta ton), India (1.7 juta ton), EU
(1.5 juta ton), Pakistan (1.1
juta ton), Mesir (0.5 juta ton), dan Jepang (0.4 juta ton)
Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran
bahwa prospek CPO cukup
cerah dalam persaingan dengan
minyak nabati lainnya. Faktor pertama
yang
mendukung daya saing minyak sawit
yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi
dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002)
menyebutkan bahwa CPO
merupakan sumber minyak nabati
termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap
minyak lain berkaitan dengan
tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004;
Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas
lahan untuk
pengusahaan CPO, minyak kedele,
rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200,
332, 521, dan 395 kg/ha setara
minyak.
Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari
penduduk dunia, khususnya di
negara berkembang masih
berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk
minyak dan lemak, terutama untuk
minyak yang harganya murah (FAO, 2001).
Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh
efek substitusi
dan efek pendapatan (Pasquali,
1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO
yang tinggi sehingga penduduk di
negara berkembang cenderung mensubstitusi
minyak yang dikonsumsi dengan
minyak yang lebih murah. Efek pendapatan
cukup
signifikan karena pertumbuhan
ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara
yang sedang berkembang yang
tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih
rendah yaitu 10.3 kg per kapita
(FAO, 2001).
Faktor berikutnya yang juga akan
memperbesar peluang minyak sawit adalah
terjadinya pergeseran dalam
industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke
bahan yang lebih bersahabat
dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya
adalah CPO (The World Bank, 1992
dan Pasquali, 1993). Kecenderungan
tersebut
sudah tampak di beberapa negara
maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan
Jepang.
Keberhasilan Putaran Uruguay juga
akan memperkokoh daya saing CPO. Hal
ini disebabkan minyak pesaing
seperti minyak kedele dan sunflower oil selama ini
mendapat proteksi yang cukup kuat
dari negara-negara produsennya, khususnya
Amerika Serikat dan negara
kelompok Uni Eropa. Negara-negara
tersebut
menganggap pasar internasional
sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi
sehingga pasar minyak menjadi
tertekan (Pasquali, 1995). Negara
berkembang yang
umumnya memproduksi CPO
diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan
perdagangan minyak nabati yang
semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal
peningkatan produksi, 82% dari
dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara
berkembang, sedangkan negara maju
hanya sekitar 12% (Pasquali, 1995).
Seperti kebanyakan harga produk
primer pertanian, harga CPO relatif sulit
untuk diprediksi dengan akurasi
yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif
dengan
dinamika yang perubahan yang relatif
sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka
proyeksi harga yang dilakukan
lebih pada menduga kisaran. Dengan argumen
tersebut, harga CPO sampai dengan
2005-2025 sebagian besar diperkirakan akan
berfluktuasi sekitar US$
350-450/ton (FAO, 2003; Susila 2002). Jumlah stok yang
terus menurun pada lima tahun
terakhir dari sekitar 10% dari konsumsi menjadi 7%, memberi indikasi bahwa
harga CPO akan tidak menurun secara drastis
dalam waktu jangka pendek.
PELUANG
DAN KENDALA PENGEMBANGAN CPO INDONESIA
Prospek dan Peluang Investasi
di Indonesia.
Seperti
disebutkan, minyak sawit merupakan salah satu komoditas yang
perkembangannya paling pesat pada
tiga dekade terakhir. Bahkan pada saat krisis dan
pemulihan ekonomi (1998-2003),
kelapa sawit masih menunjukkan perkembangan
yang pesat. Pada periode
tersebut, pertumbuhan areal mencapai 12.04% per
tahun dengan luas aral tahun 2003
mencapai 4.923 juta ha. Produksi juga
tumbuh
pesat pada periode tersebut
dengan laju 13.6% per tahun dengan tingkat produksi
mencapai 10.683 jua ton pada
tahun 2003. Volume ekspor juga meningkat
dengan
laju 16.37% per tahaun, sedangkan
nilai ekspor minyak sawit meninkat dengan laju
7.67% per tahun. Konsumsi domstik juga tidak ketinggalan
dengan laju peningkatan
sekitar 7.33% per tahun pada
periode tersebut. Dengan kinerja yang
demikian bagus,
bagaimana prospek/peluang
Indonesia dalam pasar CPO dunia?
Dalam melihat peluang pasar CPO
Indonesia, maka terlebih dahulu perlu
diestimasi peluang pasar
(peningkatan konsumsi) di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi sebelumnya,
tingkat konsumsi sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan
berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Di sisi lain, produksi CPO dunia pada tahun
2004 adalah 25.67 juta ton. Dengan demikian, peluang peningkatan produksi
sampai
dengan tahun 2025 berkisar antara
15.78 – 18.78 juta ton.
Dengan peluang pasar yang cukup
terbuka baik dari sisi ekspor ataupun
konsumsi dunia secara
keseluruhan, negara produsen CPO akan berusaha
memanfaatkan peluang pasar
tersebut. Malaysia dan Indonesia diperkirakan sebagai
negara yang paling banyak dapat
memanfaatkan peluang tersebut.
Sebagai perkiraan,
Malaysia sebagai produsen utama
diperkirakan akan memanfaatka peluang tersebut
dengan peningkatan produksi
dengan laju 2.8%-1.5% per tahun. Indonesia
diperkirakan masih akan mempunyai
peluang untuk memanfaatkan peluang tersebut
dengan peningkatan produksi
dengan laju antara 3.0%-7.6% per tahun (Susila, 2002).
Ada beberapa argumen yang mendukung bahwa
dengan dukungan kebijakan
yang konsisten dan efektif,
Indonesia diperkirakan akan memperoleh peluang terbesar
untuk memanfaatkan peluang pasar
tersebut. Faktor utama adalah
ketersediaan lahan
yang masih cukup luas. Taher et al. (2000) telah mengidentifikasi
ketersediaan lahan
yang cocok untuk kelapa sawit
mencapai sekitar 2.9 juta ha. Di sisi
lain,
Malaysia menghadapi kesulitan
karena keterbatasan lahan yang sangat terbatas untuk
perluasan (Basiron 2002). Negara lain seperti Thailand juga
diperkirakan akan tidak
dapat mengejar dengan cepat
karena keterbatasan lahan, bibit, dan kebijakannya yang
tidak meletakkan kelapa sawit
sebagai komoditi unggulan. Prodksi CPO
Nigeria
diperkirakan hanya akan cukup
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dengan argumen tesrebut, Malaysia
diperkirakan akan dapat memanfaatkan
peluang sebesar 20% (3.16 – 3.76
juta ton) dan sekitar 40% (6.31 – 7.51 juta ton)
akan dimanfaatkan oleh negara
lain. Indonesia diperkirakan memperoleh
peluang
terbesar dengan memanfaatkan sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta.
Hal ini berarti bahwa dengan
asumsi produktivitas adalah sekitar 3.5 ton CPO/ha,
Indonesia berpeluang untuk
melakukan perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha.
Jika
perluasan dilakukan antara tahun
2005-2025, maka setiap tahun Indonesia harus
melakukan perluasan sekitar 120
–140 ribu ha
Peluang Pasar CPO Dunia
Produksi CPO Dunia, 2004 juta ton 25.67 25.67
Produksi CPO Dunia, 2025 juta ton 41.45 44.45
Peluang Peningkatan Produksi, 2004-2025 juta ton 15.78 18.78
Distribusi Peluang Pasar
Malaysia (20%) juta ton 3.16 3.76
Negara Lain (40%) juta ton 6.31 7.51
Indonesia (40%) juta ton 6.31 7.51
Peluang Perluasan Areal dan
Investasi di Indonesia
Perluasan areal juta ha 1.80 2.15
Rata-rata perluasan/per tahun juta ha 0.12 0.14
Kebutuhan investasi kebun Rp triliun 36.08 42.93
Kebutuhan Investasi Pabrik CPO Rp triliun 21.05 25.04
Total Investasi Rp triliun 57.12 67.97
Rata-Rata Investasi/tahun Rp triliun 3.81 4.53
Perluasan tersebut memerlukan
dukungan dana investasi, baik untuk investasi
kebun dan pabrik. Untuk investasi kebun, kebutuhan total investasi diperkirakan
berkisar antara Rp 36.08 – 42.93
triliun. Perluasan areal kelapa sawit tersebut
memerlukan tambahan pabrik CPO
antara 300–350 pabrik pengolahan CPO
dengan
kebutuhan total dana investasi
mencapai antara Rp. 21 – 25 triliun.
Secara keluruhan, kebutuhan investasi sampai dengan tahun 2025 berikisar
antara Rp. 57.12 – Rp. 67.97
triliun, dengan rata-rata
berkisar antara Rp. 3.81 – Rp. 4.53 triliun per tahun.
Kendala dan Kebijakan
Dengan peluang investasi yang masih
terbuka, Indonesia sebenarnya
mempunyai potensi untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Seberapa besar peluang
tersebut dapat dimanfatkan akan
sangat bergantung pada iklim investasi/bisnis di
Indonesia. Menurut
sirvei yang dilakukan oleh ADB (2003), secara umum ada 22
hambatan bisnis di Indonesia. Dua hambatan utama adalah instabilitas
kondisi ekonomi makro dan
ketidak-pastian kebijakan ekonomi.
Faktor berikutnya
yang juga dinilai sebagai
hambatan utama adalah korupsi, baik pada tingkat local
maupun nasional.
Selanjutnya, masalah perpajakan
dan biaya modal juga menjadi
factor penghambat investasi di
Indonesia. Secara lebih spesifik pada
bidang investasi kelapa sawit, beberapa hambatan
utama untuk melakukan investasi
adalah sebagai berikut:
Keterbatasan Sumber
Pendanaan
Sejak tidak adanya BLBI sebagai
kredit murah, berbagai kegiatan investasi
perluasan kelapa sawit di
Indonesia, seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera
Selatan mengalami kemacetan atau
perluasannya sangat terbatas. Dalam
mengatasi
hal tersebut, sumber pendanaan
perlu digali seperti dengan menggunakan anggaran
pemerintah daerah.
Ekses Otonomi Daerah
Pemberlakuan otonomi daerah yang
dimulai tahun 2001 tentunya akan
mempunyai pengaruh terhadap
kinerja subsektor perkebunan pada masa mendatang.
Ada dua undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah yaitu UU No. 22/1999
tentang pemerintahan daerah dan
UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan
daerah. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya
memberi wewenang yang lebih luas
pada pemerintah daerah untuk mengelola
sumberdaya yang dimiliki. Dengan
belum jelasnya operasionalisasi dari otonomi
daerah tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan subsektor perkebunan, maka
pengaruh otonomi daerah terhadap
subsektor perkebunan masih memerlukan kajian
lebih mendalam. Dampak positif yang diharapkan dari otonomi
daerah adalah bahwa
inisiatif daerah lebih terpacu
sehingga potensi ekonomi daerah, termasuk subsektor
perkebunan, dapat digali secara
optimal. Hal ini cenderung mendorong daerah untuk
melakukan spesialisasi guna
meningkatkan efisiensi pada semua bidang, termasuk
subsektor perkebunan.
Kemungkinan dampak negatif dari
otonomi daerah terhadap subsektor
perkebunan adalah adanya
kompetisi antar daerah dalam mengembangkan subsektor
tersebut. Jika tidak ada koordinasi antar daerah atau
dari pemerintah pusat, persaingan
tersebut dikhawatirkan akan
memperlemah posisi rebut tawar Indonesia di pasar
internasional. Sebagai contoh, jika beberapa daerah berusaha
meningkatkan produksi
produk perkebunan sehingga
melebihi peluang pasar yang ada, maka kelebihan
penawaran sulit dihindarkan. Sebagai akibatnya, harga turun yang tentunya
merugikan
produsen perkebunan
Indonesia. Sisi negatif lain yang
tampaknyan akan berlanjut dihadapi subsektor
perkebunan sebagai akibat otonomi
daerah adalah meningkatnya jumlah pungutan,
retribusi, ataupun sumbangan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal
ini
tentunya semakin memberatkan
pelaku bisnis perkebunan pada masa mendatang
sehingga situasi ini tidak akan
kondusif untuk mengembangkan subsektor
perkebunan.
Hal lain yang masih terkait
dengan otonomi daerah adalah belum jelasnya
pembagian wewenang antara
pemerintah pusat dengan daerah. Kondisi
ini sering
membingungkan dan mengkhawatirkan
pelaku bisnis yang ingin melakukan investasi
pada subsektor perkebunan. Pembagian wewenang ini perlu segera
diterjemahkan
dan disosialisasikan sehingga
pelaku bisnis tidak dihinggapi rasa kekhawatiran untuk
melakukan kegiatan bisnis di
subsektor perkebunan.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
master plan pengembangan minyak sawit
secara nasional merupakan suatu
keharusan. Di samping itu, berbagai
kendala
pungutan yang mempunyai dampak
negatif secara signifikan terhadap investasi
perlu
ditinjau kembali.
Isu Lingkungan
Pengembangan tanaman perkebunan,
kelapa sawit khususnya, akhir-akhir ini
mendapat sorotan karena dianggap
merusak lingkungan. Memasuki awal abad
21,
masalah lingkungan masih akan
tetap mendapat tekanan, khususnya dari kalangan
LSM lingkungan. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk
menyatakan
perluasan areal kelapa sawit
dapat merusak lingkungan. Pertama, areal kelapa sawit
dianggap berasal dari lahan hutan
yang memberi keuntungan ganda pada pengusaha
dalam bentuk kayu dan produk
kelapa sawit. Hal ini memang tidak
sepenuhnya benar
karena banyak juga kebun yang
berasal dari lahan yang bukan hutan.
Pengusahaan kebun secara
monokultur juga dijadikan argumen lain untuk mendukung kekhawatiran bahwa
kelapa sawit dapat merusak lingkungan.
Kasus serangan belalang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diyakini
berkaitan dengan habisnya hutan
di wilayah tersebut akibat kelapa
sawit. Masalah banjir juga sering
dikaitkan dengan
perluasan kelapa sawit. Situasi tersebut akan mempersulit
pengembangan kelapa sawit
pada masa mendatang. Untuk itu,
pengembanan kelapa sawit harus menerapkan konsep
berkelanjutan dan menerapkan
teknologi dengan dampak lingkugan yang minimal.
Konflik Lahan dan Penjarahan.
Masalah lain yang masih harus
diantisipasi dalam pengembangan kelapa sawit
adalah konflik lahan dan
penjarahan, baik itu penjarahan kebun maupun produksi.
Masalah ini cukup mengkhawatirkan perusahaan perkebunan, karena
masalah ini
sudah menyebar lintas wilayah dan
komoditas. Nilai kerugian finansial yang
ditimbulkan oleh konflik lahan
dan penjarahan ini, walaupun bervariasi bergantung
sumbernya, sebenarnya sudah
sangat besar. Sebuah laporan menyebutkan bahwa
kerugian penjarahan di perkebunan
sudah mencapai Rp 5 triliun yang diderita oleh
sekitar 120 perusahaan perkebunan
(Anonim 2000). Selanjutnya, penyerobotan atau
okupasi lahan perkebunan
diperkirakan sudah mencapai lebih dari 100 ribu ha.
Situasi ini tidak hanya
mencemaskan bagi perusahaan yang sudah ada, tetapi juga
membuat perusahaan baru
membatalkan atau menunda usaha investasi di bisnis
perkebunan. Untuk itu, model
pembangunan industri minyak sawit harus benar-benar
memanfaatkan aspek kesinambungan
dan keadilan, khususnya dengan masyarakat
sekitar. Dengan perkataan lain,
masyarakat sekitar sejak awal sudah dilibatkan agar
menampung aspirasi mereka
tertampung secara fair.
PENUTUP
Setalah mengalami masa keemasan sampai dengan
pertengahan tahun 1990-
an, bisnis kelapa sawit mengalami
penurunan kinerja, khususnya dari aspek investasi.
Berbagai faktor internal dan
eksternal telah menimbulkan persepsi
bahwa peluang
investasi di bisnis tersebut
mulai menurun. Padahal, peluang
investasi sebenarnya
masih cukup terbuka dalam waktu
yang relatif panjang (2025).
1. Konsumsi CPO sampai dengan
tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara
41.45 – 44.45 juta ton. Dengan
produksi pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton,
peluang peningkatan produksi
sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 –
18.78 juta ton.
2. Indonesia diperkirakan memperoleh peluang terbesar dengan
memanfaatkan
sekitar 40% atau sekitar 6.31 –
7.51 juta atau setara dengan peluang perluasan
antara 1.80 – 2.15 juta ha. Jika
perluasan dilakukan antara tahun 2005-2025,
maka setiap tahun Indonesia harus
melakukan perluasan sekitar 120 –140 ribu ha.
3. Perluasan tersebut memerlukan
dukungan dana investasi untuk kebun yang
berkisar antara Rp 36.08 – 42.93
triliun dan investasi sebanyak 300-350 pabrik CPO kebutuhan total dana
investasi mencapai antara Rp 21 – 25
triliun. Secara
keluruhan, kebutuhan investasi
sampai dengan tahun 2025 berikisar
antara Rp
57.12 – Rp 67.97 triliun, dengan
rata-rata bekisar antara Rp 3.81 – 4.53 triliun per
tahun.
4. Dalam memanfaatkan peluang
tersebut, secara umum ada 22 hambatan
umum
dalam melakukan investasi di
Indonesia.
Beberapa hambatan utama adalah
instabilitas kondisi ekonomi
makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi,
korupsi, baik pada tingkat local
maupun nasional, perpajakan dan biaya modal.
Secara lebih spesifik untuk
investasi di bidang kelapa sawit, Indonesia mengalami
empat kendala utama yaitu
keterbatasan sumber pendanaan, ekses otonomi dareah,
konflik lahan, dan tekanan isu
lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah dan investor
sangat dituntut menerapkan
bebagai kebijakan/upaya untuk mengatasi kendala
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
ADB. 2005. Business Survey
Highlights Investment Climate Challenge in Indonesia,
Barton, J.H. (1993). Implication
of GATT of world trade in vegetable oils, Paper
presented at Porim International
Oil Congress, Kuala Lumpur, 20-25 September
1993.
Basiron, Y. 2002. Palm Oil and
Its Global Supply and Demand Prospects, Oil Palm
Industry Economic Journal, 2 (1):
1 - 10
Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan. (2004). Statistik Perkebunan, Kelapa
Sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Jakarta.
FA0. (2001). Medium term
prospects for agricultural commodities, Projection to the
year 2005: Oilseeds, oils, and
oilmeals, FAO, Rome.
Herman, et. al. (2000). ‘Kajian beberapa alternatif
pola pengembangan perkebunan,
Asosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia, Bogor.
Ong, A.S.H. (1992). Promotion of
oil palm products, paper presented at ASEAN
Simeh, M. A. (2004). ‘Comparative
advantage of the European rapeseed
industry visa vis other oil and fat producers, Oil Palm Industry Economic
Journal, 4(2), 14-21.
Susila, W. R. (1997). 'Dampak
Putaran Uruguay terhadap minyak nabati', Forum Agro
Ekonomi, 15 (1&2), 35-43.
Susila, W. R. (1998). ‘Daya saing
dan efisiensi penggunaan sumberdaya minyak sawit
mentah (CPO) Indonesia’, Jurnal
Agribisnis, 2(2): 16-30). Susila, W. R.
(2004). ‘Impacts of CPO-export tax on several aspects of Indonesian
CPO industty’, Oil Palm Industry
Economic Journal, 4(2), 1- 13.
Taher, S. et. al. (2000). Hand
Book of Indonesian Estate Crops
Bisiness, Media
Perkebunan, Direktorat Jenderal
Perkebunan, Jakarta.
USDA, 2004. Vegetable oil
production, consumption and imports for selected
countries,
http://www.fas.usda.gov/oilseeds/circular/2005/05-02/table9.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar